Inilah 5 jenis imunisasi yang wajib diperoleh bayi sebelum
usia setahun. Penyakit-penyakit yang hendak ditangkalnya memiliki angka
kesakitan dan kematian yang tinggi, selain bisa menimbulkan kecacatan.
Ketahanan terhadap penyakit TB (Tuberkulosis) berkaitan dengan keberadaan virus
tubercle bacili yang hidup di dalam darah. Itulah mengapa, agar memiliki
kekebalan aktif, dimasukkanlah jenis basil tak berbahaya ini ke dalam tubuh,
alias vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
Seperti diketahui, Indonesia termasuk negara endemis TB
(penyakit TB terus-menerus ada sepanjang tahun) dan merupakan salah satu negara
dengan penderita TB tertinggi di dunia. TB disebabkan kuman Mycrobacterium
tuberculosis, dan mudah sekali menular melalui droplet, yaitu butiran air di
udara yang terbawa keluar saat penderita batuk, bernapas ataupun bersin.
Gejalanya antara lain: berat badan anak susah bertambah, sulit makan, mudah
sakit, batuk berulang, demam dan berkeringat di malam hari, juga diare
persisten. Masa inkubasi TB rata-rata berlangsung antara 8-12 minggu.
Untuk mendiagnosis anak terkena TB atau tidak, perlu dilakukan tes rontgen
untuk mengetahui adanya vlek, tes Mantoux untuk mendeteksi peningkatan kadar
sel darah putih, dan tes darah untuk mengetahui ada-tidak gangguan laju endap
darah. Bahkan, dokter pun perlu melakukan wawancara untuk mengetahui, apakah si
kecil pernah atau tidak, berkontak dengan penderita TB.
Jika anak positif terkena TB, dokter akan memberikan obat
antibiotik khusus TB yang harus diminum dalam jangka panjang, minimal 6 bulan.
Lama pengobatan tak bisa diperpendek karena bakteri TB tergolong sulit mati dan
sebagian ada yang “tidur”. Karenanya, mencegah lebih baik daripada mengobati.
Selain menghindari anak berkontak dengan penderita TB, juga meningkatkan daya
tahan tubuhnya yang salah satunya melalui pemberian imunisasi BCG.
* Jumlah Pemberian:
Cukup 1 kali saja, tak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG berisi kuman
hidup sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan vaksin
berisi kuman mati, hingga memerlukan pengulangan.
* Usia Pemberian:
Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan tes
Mantoux (tuberkulin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi sudah kemasukan
kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil
tesnya negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering
bertandang ke rumah, segera setelah lahir si kecil diimunisasi BCG
* Lokasi Penyuntikan:
Lengan kanan atas, sesuai anjuran WHO. Meski ada juga petugas medis yang
melakukan penyuntikan di paha.
* Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah
bening di ketiak atau leher bagian bawah (atau di selangkangan bila penyuntikan
dilakukan di paha). Biasanya akan sembuh sendiri.
* Tanda Keberhasilan:
Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu.
Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan
meninggalkan luka parut.
Jikapun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja
dikarenakan cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu
keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Apalagi bila
dilakukan di paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di
bawah kulit paha umumnya lebih tebal.
Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk,
hanya saja dalam kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di
daerah endemis TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain, anak akan
mendapat vaksinasi alamiah.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan Mantoux
positif.
2. Imunisasi Hepatitis B
Lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program nasionalnya. Apalagi
Indonesia yang termasuk negara endemis tinggi penyakit hepatitis. Jika
menyerang anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit disembuhkan. Bila
sejak lahir telah terinfeksi virus hepatitis B (VHB), dapat menyebabkan
kelainan-kelainan yang dibawanya terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi
sirosis atau pengerutan hati (kerusakan sel hati yang berat). Bahkan yang lebih
buruk bisa mengakibatkan kanker hati.
Banyak jalan masuknya VHB ke tubuh si kecil. Yang potensial
melalui jalan lahir. Bisa sejak dalam kandungan sudah tertular dari ibu yang
mengidap hepatitis B atau saat proses kelahiran. Cara lain melalui kontak
dengan darah penderita, semisal transfusi darah.
Bisa juga melalui alat-alat medis yang sebelumnya telah
terkontaminasi darah dari penderita hepatitis B, seperti jarum suntik yang
tidak steril atau peralatan yang ada di klinik gigi. Bahkan juga lewat sikat
gigi atau sisir rambut yang digunakan antaranggota keluarga.
Malangnya, tak ada gejala khas yang tampak secara kasat mata. Bahkan oleh dokter
sekalipun. Fungsi hati kadang tak terganggu meski sudah mengalami sirosis.
Tidak cuma itu. Anak juga terlihat sehat, nafsu makannya
baik, berat tubuhnya pun naik dengan bagus pula. Penyakitnya baru ketahuan
setelah dilakukan pemeriksaan darah. Gejala baru tampak begitu hati si
penderita tak mampu lagi mempertahankan metabolisme tubuhnya.
Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu
anggota keluarga dicurigai kena VHB, biasanya dilakukan screening terhadap
anak-anaknya untuk mengetahui apakah membawa virus atau tidak. Pemeriksaan
harus dilakukan kendati anak tak menunjukkan gejala sakit apa pun. Selain itu,
imunisasi merupakan langkah efektif untuk mencegah masuknya VHB.
* Jumlah Pemberian:
Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua,
kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
* Usia Pemberian:
Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi stabil,
tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan
usia antara 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain
imunisasi yang dilakukan kurang dari 12 jam setelah lahir, juga diberikan
imunisasi tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu sebelum
berusia 24 jam.
* Lokasi Penyuntikan:
Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi di paha
lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan; lateral = otot bagian
luar). Penyuntikan di bokong tak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas
vaksin.
* Efek Samping:
Umumnya tak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa keluhan nyeri
pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun reaksi
ini akan menghilang dalam waktu dua hari.
* Tanda Keberhasilan:
Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan
pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar
hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000,
berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3
tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang.
Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
* Tingkat Kekebalan:
Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95%
bayi mengalami respons imun yang cukup.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat.
3. Imunisasi Polio
Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang dapat
menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang sangat menular.
Penularannya bisa lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio.
Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang
masuk ke mulut orang sehat.
Virus polio berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus,
lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang hingga bisa
menyebabkan kelumpuhan otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan,
penderita akan kesulitan bernapas dan bisa meninggal.
Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5
hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak.
Namun tak semua orang yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan,
tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si anak.
Nah, imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap serangan virus polio.
* Jumlah Pemberian:
Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio
massal. Namun jumlah yang berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat, tak
ada istilah overdosis dalam imunisasi!
* Usia Pemberian:
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada
usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu
dibarengi dengan vaksin DTP.
* Cara Pemberian:
Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut
(Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.
* Efek Samping:
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan,
dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
* Tingkat Kekebalan:
Dapat mencekal hingga 90%.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi
(di atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS;
sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak
dengan mekanisme kekebalan terganggu.
4. Imunisasi DTP
Dengan pemberian imunisasi DTP, diharapkan penyakit difteri, tetanus, dan
pertusis, menyingkir jauh dari tubuh si kecil. Kekebalan segera muncul seusai
diimunisasi.
* Usia & Jumlah Pemberian:
Sebanyak 5 kali; 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), 1 kali di usia 18 bulan,
dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi
TT
* Efek Samping:
Umumnya muncul demam yang dapat diatasi dengan obat penurun panas. Jika
demamnya tinggi dan tak kunjung reda setelah 2 hari, segera bawa si kecil ke
dokter. Namun jika demam tak muncul, bukan berarti imunisasinya gagal, bisa
saja karena kualitas vaksinnya jelek, misal.
Untuk anak yang memiliki riwayat kejang demam, imunisasi DTP
tetap aman. Kejang demam tak membahayakan, karena si kecil mengalami kejang
hanya ketika demam dan tak akan mengalami kejang lagi setelah demamnya hilang.
Jikapun orangtua tetap khawatir, si kecil dapat diberikan vaksin DTP asesular
yang tak menimbulkan demam. Kalaupun terjadi demam, umumnya sangat ringan,
hanya sekadar sumeng.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan kepada mereka yang kejangnya disebabkan suatu penyakit
seperti epilepsi, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis
dirawat karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DTP. Mereka hanya boleh
menerima vaksin DT tanpa P karena antigen P inilah yang menyebabkan panas.
Penyakit DTP yang BERBAHAYA
1. Difteri
Penyakit yang disebabkan kuman Corynebacterium diphtheriae ini, gejalanya mirip
radang tenggorokan, yaitu batuk, suara serak, dan tenggorokan sakit. Namun,
difteri tak disertai panas sebagaimana yang terjadi pada radang tenggorokan.
Gejala lain difteri adalah kesulitan bernapas (leher seperti tercekik dan napas
berbunyi), sehingga wajah dan tubuh membiru, serta adanya lapisan putih pada
lidah dan bibir.
Bakteri penyebab difteri ditularkan saat batuk, bersin, atau
kala berbicara. Masa inkubasinya 1-6 hari. Penderita harus mendapatkan
perawatan di rumah sakit dalam waktu cukup lama, sekitar 2-3 minggu, dan baru
boleh pulang setelah penyakitnya benar-benar hilang 100%. Soalnya, difteri bisa
kambuh lagi kalau belum betul-betul sembuh.
2. Tetanus
Disebabkan oleh bakteri Clostridium Tetani, penyakit ini berisiko menyebabkan
kematian. Infeksi tetanus bisa terjadi karena luka, sekecil apa pun luka itu.
Tetanus rawan menyerang bayi baru lahir, biasanya karena tindakan atau
perawatan yang tidak steril.
Gejala-gejala yang tampak antara lain kejang otot rahang,
rasa sakit dan kaku di leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat
merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Pengobatan dilakukan dengan
pemberian antibiotik untuk mematikan kuman, antikejang untuk merilekskan
otot-otot, dan antitetanus untuk menetralisir toksinnya.
3. Pertusis
Disebut juga kinghoest, batuk rejan, atau batuk 100 hari lantaran batuknya
memang berlangsung lama, bisa sampai 3 bulan. Penyakit ini mudah sekali menular
melalui udara yang mengandung bakteri Bordetella pertussis. Masa inkubasinya
6-20 hari.
Gejala awalnya seperti flu biasa, yaitu demam ringan, batuk,
dan pilek, yang berlangsung selama 1-2 minggu. Kemudian, gejala batuknya mulai
nyata dan kuat, batuk panjang secara terus-menerus yang berbeda dengan batuk
biasa. Tak jarang, karena kuatnya batuk ini, anak bisa sampai
menungging-nungging, muntah-muntah, mata merah, berair, dan napasnya susah.
Gejalanya sangat berat. Bahkan beberapa penderita bisa mengalami perdarahan.
Setelah 2-4 minggu berlalu, batuk mulai berkurang dan kondisi anak mulai pulih.
Penderita akan diberi obat antibiotik untuk mematikan kuman,
dan obat untuk mengurangi/menghentikan batuknya. Istirahat yang cukup, banyak
minum, dan konsumsi makanan bergizi akan membantu mempercepat kesembuhan.
5. Imunisasi Campak
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring
bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi
tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular,
dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit
yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali
seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena
lagi.
Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air
ludah (droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa
inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi.
Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata
kemerah-merahan dan berair, si kecil pun merasa silau saat melihat cahaya.
Kemudian, di sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan
3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami diare.
Satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik,
berkisar 38-40,5°C. Seiring dengan itu, barulah keluar bercak-bercak merah yang
merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tak
terlalu kecil. Awalnya hanya muncul di beberapa bagian tubuh saja seperti
kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercak-bercak
merah ini akan memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya baik,
bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tubuh saja dan tidak banyak.
Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun
dengan sendirinya. Bercak merah pun akan berubah jadi kehitaman dan bersisik,
disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok atau
sembuh dengan sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak
sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini, tetaplah meminum obat
yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi makanan bergizi.
Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang muncul.
Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak.
Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya.
Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak
berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, gejalanya tidak membaik setelah
diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru
(broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi inilah yang
umumnya paling sering menimbulkan kematian pada anak.
Usia & Jumlah Pemberian:
Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan,
pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah
menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita.
Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12
bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella).
Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare, namun
kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga
terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar